Oleh : Rushdy Hoesein
Adalah Shodancho Singgihlah (merupakan perwira PETA dari Daidan I Jakarta) yang memimpin penculikan dwitunggal Soekarno-Hatta menuju Rengasdengklok. Mereka tiba tanggal 16 Agustus 1945 sekitar jam 08.10 (waktu Tokyo). Para tokoh PETA dan pemuda yang datang bersamanya adalah Chudancho Dr Soetjipto, Soekarni dan Joesoef Koento.
Singgih, Dr Soetjipto dan Joesoef Koento tidak sampai siang hari, telah meninggalkan Rengasdengklok. Cudan Rengasdengklok (setingkat kompi) dipimpin oleh Chudancho Subeno. Chudan ini memiliki 3 buah Shodan (setingkat pleton) yaitu Shodan 1 dipimpin Shodancho Suharjana, Shodan 2 dimpim-pin Shodancho Oemar Bahsan dan Shodan 3 dipimpin Shodancho Affan. Disamping mereka juga ada Honbu (staf) yang dipimpin oleh Budancho senior yaitu Martono. Honbu memiliki kelengkapan petugas urusan persenjataan, keuangan, makanan dan dapur, pakaian, kesehatan, trompet dan juru bahasa.
Ketika Soekarno-Hatta, Fatmawati dan Guntur tiba, hari sudah terang. Para prajurit menyambut para tetamu setengah tawanan ini. Mereka berteriak : “Hidup Bung Karno, Hidup Bung Hata. Indonesia sudah merdeka. Jepang sudah modar (mati),” dan sebagainya.
Untuk sementara para pemuka bangsa ini ditempatkan di rumah Chudancho Subeno. Tapi khawatir mencolok, kemudian dipindahkan kerumahnya seorang China bernama Giau I Siong atau Djiauw Kie Siong. Rupanya dipelopori para prajurit PETA, diwilayah Rengasdengklok sudah terjadi perebutan kekuasaan dan pernyataan kemerdekaan. Ini terbukti dengan berkibarnya bendera merah putih dimana-mana.
Rakyatpun sudah berkumpul terutama dimuka Chudan. Pada jam 9.00 pagi (waktu Tokyo) Wedana Mitsui, bersama stafnya orang Jepang dan sejumlah Jepang lainnya sudah ditawan. Lalu sebagai pimpinan daerah baru, diangkat Camat Sujono Hadipranoto. Para pemuda dalam organisasi Seinendan dan Kibodan diaktifkan. Peresmian pergantian pimpinan dan pernyataan kemerdekaan ini diadakan dilapangan kecamatan dimana Hadipranoto bertindak selaku inpektur upacara dan pakai berpidato segala. Dilakukan upacara penurunan Hinomaru (bendera Jepang) dan penaikan sang Merah Putih. Rupanya cukup hikmat juga, sehingga beberapa orang menitikkan air mata.
Lukisan Dudum Sonjaya anak klas 3 SD pada tahun 1945 tentang gambar rumah Djiauw Kie Siong . Dalam gambar tampak Bung Karno, Bu Fat dan Guntur. Djiauw Kie Siong rupanya dahulu adalah pembuat peti mati.
Sekitar jam 11.00, rombongan lain bertambah yang datang ke Chudan antara lain Syuchokan (residen) Soetardjo Hadikoesoemo, Kenco Purwakarta (Bupati) Pandu, Fuku Kencho Purwakarta (patih) Djuarsa, Soncho Batujaya (camat) Bunyamin. Kedatangan mereka tidak sengaja kebetulan saja karena berada disekitar Rengasdengklok karena sedang mengontrol padi. Otomatis mereka setengah ditahan di Chudan. Setelah tengah hari Soetardjo bergabung dengan rombongan Soekarno-Hatta.
Perlu diketahui, saat pagi hari Chudancho Soebeno sedang berada di Purwakarta. Baru tengah hari dia datang di Rengasdengklok. Pada pukul 17.00 WIB tiba di Rengasdengklok Mr Soebardjo diantar Joesoef Koento dan Shodancho Sulaiman. Maksudnya mau menjemput Soekarno-Hatta. Setelah itu rombongan yang baru datang ini dipertemukan dengan Soekarno-Hatta termasuk Soetardjo. Pada jam 18.00 perundingan dimulai. Hasil perundingan Soekarno-Hatta setuju diadakan Proklamasi setelah kembali ke Jakarta. Jam 19.30 rombongan kembali ke Jakarta.
(Sumber tulisan : PETA dan Peristiwa Rengasdengklok oleh Oemar Bahsan, NV Melati Bandung.1955)
Sumber :
Rushdy Hoesein. Lahir di Jakarta 64 tahun silam. Peneliti Sejarah, diantaranya meneliti Soal Sekitar Proklamasi, Rawa Gede dan Resimen 6 Cikampek.
http://www.karawanginfo.com/?p=3512
6 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar